Bermula dari perkenalanku di dunia maya dengan seoarang kepala sekolah yang begitu energik
memperjuangkan sekolahnya. Kepala
sekolah yang bernama Ibu Tuti dari SMPN
3 Curug, yang tidak pernah bosan mengabarkan
bagaimana kondisi sulit
sekolahnya yang masih menumpang di sekolah lain sungguh mengetuk pintu hati saya, dan pertanyaan
besar dalam benak saya saat itu mengapa sebuah sekolah bisa disebut
sekolah negri tanpa ada bangunannya. Semakin
ingin saya mengetahuinya dan saya berharap bisa membantu sisi lain dari
segi ekonomi keluarga murid-muridnya.Jadilah kami janjian dan saya
bermaksud memberikan seminar untuk orang
tua disekolah tersebut sambil mencoba
melihat sisi lain yang bisa dibangkitkan,saat itu tahun 2008 .
Ternyata Bu Tuti memanggil orang tua murid datang dengan iming iming saya akan bantu mereka keluar dari kemiskinan.Sungguh beban yang luar biasa buat saya, namun ternyata seminar saya mencairkan ketegangan itu.Hampir semua orang tua menangis ketika saya mengajak mereka merenung kembali apa yang sudah mereka lakukan kepada anak-anaknya, sungguh tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya, karena memang tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua, dan mereka boro- boro bisa belajar lewat seminar, untuk makan saja mereka masih susah.
Akhirnya saya mencoba mencari benang merahnya mengapa kemiskinan itu selalu melekat, ternyata jawabannya adalah pendidikan.Tetapi bagaimana pendidikan bisa berjalan jika kemiskinan selalu menghantui?Ternyata dari kondisi mereka terbangun ide untuk membuat program lifeskill agar mereka bisa hidup mandiri.Jadilah saya bawa bahan sisa garmen dan berkeinginan mengajari mereka bikin jepitan rambut, dan bisa bantu sampai pemasarannya.Namun sayang sekali ternyata tidak sesuai harapan, bahkan sangat mengecewakan masyarakat yang konon katanya miskin tidak hanya miskin secara materi melainkan juga miskin mental.Mereka sangat banyak alasan dan terkesan memblok dirinya untuk berubah.Akhirnya saya bersama Ibu Tuti mengalihkan program ini untuk 527 anak anak menjadi program kecakapan siswa yang diyakini tidak mengganggu kurikulum sekolah.
Jadilah kami mengajak pihak Daai TV untuk meliput kegiatan mereka dengan tagline” 24 ribu jepitan rambut untuk membeli 10 sepeda “ sengaja kita tujukan untuk membantu anak anak miskin yang kebetulan harus berjalan mencapai 1 – 2 km menuju sekolah.Tidak gampang memang menggugah kepeduli dari pihak lain, tetapi kami menawarkan program kami ke perusahaan perusahaan antara lain( Garuda Food, Tupperware, CNI dll ) serta kesempatan jualan disetiap seminar saya, akhirnya dalam 2 tahun kami bisa membeli 13 sepeda.
Sungguh sebuah fenomena yang sangat menggugah, dimana ada kesan yang mendalam dari anak-anak, bahwa sepeda bisa rusak dan bisa hilang tetapi apa yang ditanamkan kami dari Rumah Moral akan membekas dihati mereka selama lamanya.Mental berjuang dengan cerdas dan kreatif itu nilai yang tersampaikan pada mereka.Sungguh bahagia, program ini bukan hanya membantu mereka melainkan juga semakin membuat kami optimis dan terus menyebar konsep tidak meminta melainkan berusaha dengan kedua tangan kita.Inilah awal keberhasilan kami dan awal dari perjalanan kami , dan kami yakin sekali walau hanya sebesar debu kami tetap bisa berkontribusi membangun negri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar