MELLY KIONG DAN KEPEDULIAN KITA
SETELAH berulang kali me-reschedule janji pertemuan, akhirnya Rabu, 2
Mei 2012 lalu, saya bisa makan siang bareng dengan
Melly Kiong –
penggagas
Rumah Moral dan
Center of Motherhood, seorang ibu hebat yang
sudah menelorkan sejumlah buku tentang parenting, di antaranya “Siapa
Bilang Ibu Bekerja Tidak Bisa Mendidik Anak dengan Baik”.
Berada
di dekat Bu Melly, seperti berada di sebuah medan magnet yang
memancarkan aura positif. Dan orang-orang yang berada di sekitarnya
tidak bisa menghindar. Semangat, cinta, kepedulian, kehangatan, melebur.
Menarik kita untuk masuk ke dalam pusarannya.
Kata apa
yang tepat untuk menggambarkan sosok Bu Melly? Masing-masing orang
mungkin punya pendapat sendiri. Tapi buat saya, yang paling mengesankan,
karena dia melakukan aksi nyata, kongkret. Melakukan hal-hal yang
dibagikannya ke orang lain. Saya sudah banyak bertemu dengan banyak
sosok yang mengaku peduli, atau berbusa-busa menyampaikan teori dan
motivasi yang paling ‘sempurna’ untuk melakukan sesuatu hal. Tapi hanya
sebatas wacana. Hanya untuk kepentingan ‘pencitraan’. Tapi Bu Melly
berbeda. Ia melakukannya – dimulai dari hal-hal sederhana, kecil, tapi
konsisten. Dan akhirnya yang kecil itu, menjadi bukit.
Soal
bukunya, misalnya. Apa yang ditulisnya berangkat dari pengalaman. Bukan
dari kepiawaian memainkan kalimat atau memainkan persepsi dan kondisi
piskologis pembaca. “Saya lahir dari keluarga miskin, sehingga kurang
perhatian dari orangtua. Dan ketika ayah saya sudah tidak ada, saya
sungguh-sungguh kasihan pada ibu saya yang bekerja keras untuk
menghidupi kami. Sejak itu saya berjanji untuk mengubah hidup keluarga
saya. Saya tidak boleh mengulang jalan hidup ibu,” kisahnya
terus-terang. Karena itu ia bekerja keras. Dengan bekal ijazah SMA, ia
memutar otak bagaimana agar bisa mencari uang namun tanpa harus
meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu yang bisa mendidik putranya
dengan baik.
Bu Melly sungguh pemerhati dan pengarsip yang sabar. Satu-satu,
benda-benda kenangan dari setiap fase pertumbuhan anaknya disimpan dan
dirawatnya dengan baik. Dari gigi yang copot, coretan pertama di kertas
gambar, hingga tiket pesawat ketika berlibur bersama keluarga.
Benda-benda itu begitu bermakna: menandai fase pertumbuhan anak, menjadi
alat kontrol saat dia secara fisik berada jauh dari jangkauan putranya,
sekaligus menjadi perekat kasih-sayang antara anak dan orangtua.
Bayangkanlah, bagaimana berbagi kisah dengan anak-anak tentang
peristiwa di waktu lalu dengan menatap benda-benda kenangan...
Itu
hanya sisi lain. Di sisi lainnya, bu Melly adalah seseorang yang sangat
mudah berempati. Empati dalam pengertian bukan sekadar berhenti pada
rasa. Ia peduli. Ia mengulurkan tangan. Melalui Rumah Moral, ia paling
tidak menaruh perhatian pada 3 hal: pada anak-anak penderita kanker,
penderita down syndrome, dan penderita tuna rungu.
Saat
berkunjung ke RS Dharmais, ia memergoki, tidak hanya anak-anak pengidap
kanker yang menderita, tapi juga orangtua yang menungguinya. “Mereka
stress,” kisahnya. Kanker, menurut bu Melly, adalah penyakit yang sulit
diprediksi kapan sembuhnya. “Saya lalu berpikir keras bagaimana agar
para orangtua dan anak-anak ini tidak terus-menerus merasa tertekan
selama di rumah sakit.” Bu Melly kemudian menawarkan untuk mengisi waktu
dengan membuat bros dan jepit rambut dari limbah garmen. “Saya
memasarkannya ke mana pun saya pergi!” sambungnya. Kini, kesibukan itu
menghasilkan uang yang ia gunakan untuk membeli laptop bagi anak-anak
pengidap kanker. “Mereka bisa bermain game dan internet selama dirawat
dan saat menjalani kemoterapi, misalnya.”
Di Wonosobo, bu Melly ikut merintis pendirian Salon Dena Upakara. Ini
adalah salon yang dikelola orang-orang tuna rungu. “Modal pendiriannya
dari hasil membuat dan menjual masker – yang juga dari limbah garmen,
dan bantuan seorang teman,” ujarnya. Sementara untuk anak-anak penderita
keterbelakangan mental, ia juga mengajarkan life skill. “Kami membuat
hiasan yang ditempelkan di pintu kulkas. Bahannya dari limbah pabrik
furniture,” kisahnya bersemangat.
Bagi bu Melly, jauh
lebih penting dari sekadar memberi ‘kail’ kepada anak-anak itu, adalah
keinginannya untuk membangun mental juang mereka. “Keterbatasan tidak
harus membuat mereka menyerah, tidak boleh menghalangi mereka berkarya.”
Ia memang sangat gigih untuk menularkan semangat pantang menyerah.
Menurutnya, hanya dengan cara ini kita bisa bermimpi melahirkan generasi
emas Indonesia.
Nah, bu Melly sudah memulai. Kapan giliran Anda? ***
Catatan:
Oya,
bagi sahabat-sahabat yang ingin membeli hasil kerajinan tangan
anak-anak tuna rungu, down syndrome dan orangtua dari anak-anak
penderita kanker, sampaikan pesan Anda di kolom komentar, ya. Gak
mahal-mahal kok. Untuk bros misalnya, hanya 10.000 rupiah per biji.
Semoga bisa menjadi ladang amal bagi kita semua. Amin.