Senin, 21 Mei 2012

Catatan Sahabat


 MELLY KIONG DAN KEPEDULIAN KITA


SETELAH berulang kali me-reschedule janji pertemuan, akhirnya Rabu, 2 Mei 2012 lalu, saya bisa makan siang bareng dengan Melly Kiong – penggagas Rumah Moral dan Center of Motherhood, seorang ibu hebat yang sudah menelorkan sejumlah buku tentang parenting, di antaranya “Siapa Bilang Ibu Bekerja Tidak Bisa Mendidik Anak dengan Baik”.
Berada di dekat Bu Melly, seperti berada di sebuah medan magnet yang memancarkan aura positif. Dan orang-orang yang berada di sekitarnya tidak bisa menghindar. Semangat, cinta, kepedulian, kehangatan, melebur. Menarik kita untuk masuk ke dalam pusarannya.
Kata apa yang tepat untuk menggambarkan sosok Bu Melly?  Masing-masing orang mungkin punya pendapat sendiri. Tapi buat saya, yang paling mengesankan, karena dia melakukan aksi nyata, kongkret. Melakukan hal-hal yang dibagikannya ke orang lain. Saya sudah banyak bertemu dengan banyak sosok yang mengaku peduli, atau berbusa-busa menyampaikan teori dan motivasi yang paling ‘sempurna’ untuk melakukan sesuatu hal. Tapi hanya sebatas wacana. Hanya untuk kepentingan ‘pencitraan’. Tapi Bu Melly berbeda. Ia melakukannya – dimulai dari hal-hal sederhana, kecil, tapi konsisten. Dan akhirnya yang kecil itu, menjadi bukit.
Soal bukunya, misalnya. Apa yang ditulisnya berangkat dari pengalaman. Bukan dari kepiawaian memainkan kalimat atau memainkan persepsi dan kondisi piskologis pembaca. “Saya lahir dari keluarga miskin, sehingga kurang perhatian dari orangtua. Dan ketika ayah saya sudah tidak ada, saya sungguh-sungguh kasihan pada ibu saya yang bekerja keras untuk menghidupi kami. Sejak itu saya berjanji untuk mengubah hidup keluarga saya. Saya tidak boleh mengulang  jalan hidup ibu,” kisahnya terus-terang. Karena itu ia bekerja keras. Dengan bekal ijazah SMA, ia memutar otak bagaimana agar bisa mencari uang namun tanpa harus meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu yang bisa mendidik putranya dengan baik.

Bu Melly sungguh pemerhati dan pengarsip yang sabar. Satu-satu, benda-benda kenangan dari setiap fase pertumbuhan anaknya disimpan dan dirawatnya dengan baik. Dari gigi yang copot, coretan pertama di kertas gambar, hingga tiket pesawat ketika berlibur bersama keluarga. Benda-benda itu begitu bermakna: menandai fase pertumbuhan anak, menjadi alat kontrol saat dia secara fisik berada jauh dari jangkauan putranya, sekaligus menjadi perekat kasih-sayang antara anak dan orangtua. Bayangkanlah, bagaimana  berbagi kisah dengan anak-anak tentang peristiwa di waktu lalu dengan menatap benda-benda kenangan...
Itu hanya sisi lain. Di sisi lainnya, bu Melly adalah seseorang yang sangat mudah berempati. Empati dalam pengertian bukan sekadar berhenti pada rasa. Ia peduli. Ia mengulurkan tangan. Melalui Rumah Moral, ia paling tidak menaruh perhatian pada 3 hal: pada anak-anak penderita kanker, penderita down syndrome, dan penderita tuna rungu.
Saat berkunjung ke RS Dharmais, ia memergoki, tidak hanya anak-anak pengidap kanker yang menderita, tapi juga orangtua yang menungguinya. “Mereka stress,” kisahnya. Kanker, menurut bu Melly, adalah penyakit yang sulit diprediksi kapan sembuhnya. “Saya lalu berpikir keras bagaimana agar para orangtua dan anak-anak ini tidak terus-menerus merasa tertekan selama di rumah sakit.” Bu Melly kemudian menawarkan untuk mengisi waktu dengan membuat bros dan jepit rambut dari limbah garmen. “Saya memasarkannya ke mana pun saya pergi!” sambungnya. Kini, kesibukan itu menghasilkan uang yang ia gunakan untuk membeli laptop bagi anak-anak pengidap kanker. “Mereka bisa bermain game dan internet selama dirawat dan saat menjalani kemoterapi, misalnya.”

Di Wonosobo, bu Melly ikut merintis pendirian Salon Dena Upakara. Ini adalah salon yang dikelola orang-orang tuna rungu. “Modal pendiriannya dari hasil membuat dan menjual masker – yang juga dari limbah garmen, dan bantuan seorang teman,” ujarnya. Sementara untuk anak-anak penderita keterbelakangan mental, ia juga mengajarkan life skill. “Kami membuat hiasan yang ditempelkan di pintu kulkas. Bahannya dari limbah pabrik furniture,” kisahnya bersemangat.
 
Bagi bu Melly, jauh lebih penting dari sekadar memberi ‘kail’ kepada anak-anak itu, adalah keinginannya untuk membangun mental juang mereka. “Keterbatasan tidak harus membuat mereka menyerah, tidak boleh menghalangi mereka berkarya.” Ia memang sangat gigih untuk menularkan semangat pantang menyerah. Menurutnya, hanya dengan cara ini kita bisa bermimpi melahirkan generasi emas Indonesia.
Nah, bu Melly sudah memulai. Kapan giliran Anda? *** 

Catatan:
Oya, bagi sahabat-sahabat yang ingin membeli hasil kerajinan tangan anak-anak tuna rungu, down syndrome dan orangtua dari anak-anak penderita kanker, sampaikan pesan Anda di kolom komentar, ya. Gak mahal-mahal kok. Untuk bros misalnya, hanya 10.000 rupiah per biji. Semoga bisa menjadi ladang amal bagi kita semua. Amin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar